Minggu, 26 Agustus 2007

Mari Kita Belajar Mencintai

Jika cinta, pada semua jenisnya, adalah kesadaran, adalah perasaan, adalah tindakan, maka cinta pada akhirnya adalah kemampuan yang terintegrasi dalam seluruh aspek kehidupan kita. Kemampuan untuk mencintai adalah gambaran paling utuh dari seluruh kapasitas kepribadiannya. Hanya dengan orang-orang yang berkepribadian kuat dan kapasitas besar yang mampu mencintai. Orang-orang lemah, yang setiap saat bisa kita saksikan di sekitar kita, tidak akan pernah mencintai. Bahkan untuk mencintai diri mereka sekalipun. Takdir mereka adalah menantikan cinta dan kasih sayang orang-orang kuat.

Orang-orang kuat mencintai dengan segenap kesadarannya. Maka mereka terus menerus memproduksi kebajikan demi kebajikan. Sementara orang-orang lemah bahkan tidak memiliki kesadaran untuk mencintai. Maka mereka terus menerus mengkonsumsi kebajikan-kebajikan orang-orang kuat. Itu sebabnya orang-orang kuat dalam masyarakat selalu merupakan faktor kohesi yang merekatkan masyarakat. Mereka merekatkan masyarakat dengan cinta dan kebajikan mereka. Makna inilah yang ditebarkan Rasulullah Saw begitu beliau tiba di Madinah dan memulai kerja membangun megara baru itu: ” Wahai sekalian manusia, tebarkan salam, berikan makan, bangun malam saat orang-orang tertidur, niscaya kalian akan masuk surga dengan penuh damai.

Ini merupakan penjelasan bagi keterangan selanjutnya. Bahwa untuk bisa mencintai, bahwa untuk bisa menjadi pecinta sejati, kita harus mengembangkan kapasitas dan kepribadian kita. Cinta adalah pelajaran tentang bagaimana mengubah kepribadian kita untuk menjadi lebih baik secara berkesinambungan, pelajaran tentang bagaimana menjadi manusia produktif untuk bisa memberi, pelajaran tentang bagaimana menjadi orang kuat yang penyayang, pelajaran tentang bagaimana melimpahruahkan kebajikan abadi bagi penumbuhan kehidupan orang-orang disekitar kita yang kadang berujung pada tanpa sedikitpun rasa terima kasih, atau bahkan penolakan.

Ini bukan pelajaran tentang teknik atau keterampilan mencintai seperti ketika belajar tentang teknik berkomunikasi dengan orang lain, atau bagaimana merebut hati seseorang untuk suatu hubungan asmara. Bukan. Sama sekali bukan tentang itu. Ini adalah pelajaran tentang bagaimana membangun dasar-dasar kepribadian yang kokoh dan tangguh, yang memungkinkankita mencintai secara sadar, bertanggung jawab, dan bertindak produktif untuk membuktikan cinta itu dalam kenyataan. Dan dengan begitu cinta bukan saja berefek pada perbaikan berkesinambungan terhadap hubungan-hubungan kemanusian kita, tapi terutama juga perbaikan kehidupan kita seluruhnya secara berkesinambungan.

Dan ini mungkin terbuka. Semua kita bisa mempelajarinya. Alasannya sangat sederhana. Rasullullah Saw bersabda ” Ilmu diperoleh dengan belajar. Kesabaran diperoleh dengan belajar menjadi sabar. Kesantunan diperoleh dari belajar menjadi santun”. Ini menjelaskan bahwa disamping karakter bawaan yang melekat pada diri kita sebagai warisan genetic, semua karakter lain bisa kita peroleh dengan mempelajari dan mengimplementasikannya dalam kehidupan kita.

Begitu juga cinta. Semua kita bisa mencintai. Semua kita bisa menjadi pecinta sejati. Asal kita mau belajar. Asal kita mau belajar bagaimana mencintai.

Cinta Bersemi di Pelaminan

Lupakan! Lupakan semua cinta jiwa yang tidak akan sampai ke pelaminan. Tidak ada cinta jiwa tanpa sentuhan fisik. Semua cinta dari jenis yang ini yang tidak berujung dengan penyatuan fisik hanya akan mewariskan penderitaan bagi jiwa. Misalnya yang dialami oleh Nashr bin Hajjaj di masa Umar bin Khattab. Ia pemuda paling ganteng yang ada di Madinah. Sholeh dan kalem. Secara diam-diam gadis-gadis Madinah mengidolakannya. Sampai suatu saat Umar mendengar seorang perempuan menyebut namanya dalam bait-bait puisi yang dilantunkannya di malam hari.

Umar pun mencari Nashr. Begitu melihatnya, Umar terpana dan mengatakan, ketampanannya telah menjadi menjadi fitnah bagi gadis-gadis Madinah. Akhirnya Umar pun memutuskan untuk mengirimnya ke Basra. Disini ia bermukim pada sebuah keluarga yang hidup bahagia. Celakanya, Nashr justru jatuh cinta pada istri tuan rumah. Wanita itu juga membalas cintanya. Suatu saat mereka duduk bertiga bersama sang suami. Nashr menulis sesuatu dengan tangannya di atas tanah yang lalu dijawab oleh sang istri. Karena buta huruf, suami yang sudah curiga itu pun memanggil sahabatnya untuk membaca tulisan itu. Hasilnya: Aku cinta padamu!

Nashr tentu saja malu karena ketahuan. Akhirnya ia meninggalkan keluarga itu dan hidup sendiri. Tapi cintanya tak hilang. Dan ia menderita karenanya. Sampai ia jatuh sakit dan badannya kurus kering. Suami perempuan itupun kasihan dan menyuruh istrinya untuk mengobati Nashr. Betapa bahagianya Nashr ketika perempuan itu datang. Tapi cinta tak mungkin tersambung kepelaminan. Mereka tidak melakukan dosa, memang. Tapi mereka menderita. Dan Nashr meninggal setelah itu.

Itu derita panjang dari cinta yang tumbuh di lahan yang salah. Tragis memang. Tapi ia tak kuasa menahan cintanya. Dan ia membayarnya dengan penderitaan sampai akhir hayat. Pastilah cinta yang begitu akan jadi penyakit. Sebab cinta yang ini justru menemukan kekuatannya dengan sentuhan fisika. Makin intens sentuhan fisikanya, makin kuat dua jiwa saling tersambung. Maka ketika sentuhan fisik jadi mustahil, cinta yang ini hanya akan berkembang jadi penyakit. Itu sebabnya Islam memudahkan seluruh jalan menuju pelaminan. Semua ditata sesederhana mungkin. Mulai dari proses perkenalan, pelamaran, hingga mahar dan pesta pernikahan. Jangan ada tradisi yang menghalangi cinta dari jenis yang ini untuk sampai ke pelaminan. Tapi mungkin halangannya bukan tradisi. Juga mungkin tidak selalu sama dengan kasus Nashr. Kadan-kadang misalnya, karena cinta tertolak atau tidak cukup memiliki alasan yang kuat untuk dilanjutkan dalam sebuah hubungan jangka panjang yang kokoh. Apapun situasinya, begitu peluang menuju pelaminan tertutup, semua cinta yang ini harus diakhiri. Hanya di sana cinta yang ini absah untuk tumbuh bersemi: di singgasana pelaminan.

Ketiga : Transedensi Spiritual

Di hadapannya istrinya terduduk. Diam. Hening. Hanya tatapan mata yang saling bicara. Tekad memancar tegas setegas pekat hitam kedua bola matanya.”kini tiba giliranmu, istriku,’ Umar bin Abdul Aziz membuka pembicaraan. “perbaikan dan reformasi dinasti bani umayyah sudah kumulai dari diriku sendiri. Selanjutnya adalah giliranmu. Kemudian anak-anak. Kemudian keluarga besar istana. Sekarang kembalikan seluruh harta dan perhiasanmu ke kas negara.”
Istrinya langsung mengangkat kepala.” Tidak, umar! Ini semua adalah pemberian ayahku, Abdul Malik Bin Marwah.” Umar terdiam, sejenak. Lalu menjawab, “Tapi yang untuk membeli itu semua berasal dari kas negara, Fatimah! Dialog itu terus berlangsung, mendatar dan meninggi, antara setuju dan tidak setuju.
Beberapa saat umar tertunduk. Terpekur. Tantangan itu ternyata ada di hadapannya kini. Dari orang terdekat dan paling ia cintai. Bisakah ia melanjutkan perjuangannya kalu hambatannya justru datang dari cinta? Tidak ! Tidak boleh! Ia harus terus melangkah maju di jalan terpal perbaikan pemerintahan. Tiba-tiba Umar bangkit dan berkata, Fatimah, aku sekarang sudah bertekad untuk tidak mundur. Dan kamu punya dua pilihan : kembalikan seluruh harta itu, atau jika tidak, hubungan kita berakhir di sini.”“Fatimah terhenyak. Kesadarannya seperti ditampar tangan kebenaran. Hanya sesaat kemudian fatimah mendengarkan panggilan nuraninya. Ia memilih untuk terus bersama Umar.
Pada suatu masa dalam hidup kita, fisik kita berhenti menuntut hak-haknya, akal kita berhenti meminta penjelasan – penjelasan. Karena ada kebutuhan baru yang muncul begitu kita makin menua: kebutuhan akan transendensi spiritual karena tuntutan “tanah” tak lagi punya gravitasi yang kuat dalam tubuh kita. Saat itu kesadaran akan fisik lenyap dan kehebatan akal menjadi terlalu sederhana untuk menjelaskan temuan-temuan ruh dalam kehidupan. Saat itu mata ruh kita mulai menembus tembok-tembok ruang dan waktu, melewati kesementaraan pada panggilan jiwa dan raga dan memasuki gerbang keabadian ruh yang telah terbebaskan. Karena itu godaan raga dan jiwa pada Umar lenyap ketika ia harus memilih jalan ruhnya: tapi justru disitulah pesona keabadiannya menampakkan diri dan seperti angin sepoi yang masuk lewat jendela bersama cahaya Matahari, kebenaran itu merengkuh seluruh dirinya. Ada keagungan tansedensi yang datang bersama kebenaran cinta. Itu mencerahkan. Itu menghidupkan.
Dalam transedensi itu tidak ada cantik atau jelek, tidak ada seksi atau tidak seksi. Yang ada hanya kebenaran dan keabadian. Itu yang memberinya aura keagungan. Setiap kali kamu melihat mereka yang memiliki pesona itu ingatanmu langsung kembali ke masa depan, melampaui semua yang kini dan di sini, masa di mana waktu tak lagi punya ujung. Maka pesona mereka membebaskanmu seperti buraq membawa Muhammad melewati atmosfir bumi dan menembus langit demi langit menuju singgasana Zat Yang Abadi .